English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

rss

Sabtu, 29 Maret 2008

Gempa Dapat Diprediksi dengan Geotomografi

Teknik geotomografi atau pencitraan struktur interior Bumi dalam bentuk tiga dimensi dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya gempa. Dengan teknik ini, pergerakan lempeng Bumi dapat dengan mudah dipantau secara terus-menerus.

Demikian dikatakan guru besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Sri Widiyantoro dalam orasi ilmiahnya sebagai guru besar yang berlangsung di Gedung Balai Pertemuan Institut Teknologi Bandung (ITB), Sabtu (9/2). Prediksi yang akurat ini sangat bermanfaat terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa.

Tomografi pada awalnya merupakan teknik yang digunakan dalam bidang kedokteran. Pada tahun 1970-an mulai dikembangkan teknik tomografi seismik atau geotomografi untuk membuat citra interior Bumi. Widiyantoro merupakan peneliti dan ilmuwan pertama di Indonesia yang menekuni teknik ini sejak tahun 1990.

Untuk dapat memprediksi gempa dengan akurat, teknik ini harus didukung ahli dari berbagai disiplin ilmu Bumi lainnya seperti ahli geodesi, oseanografi, dan vulkanologi. "Gempa merupakan fenomena alam yang diawali berbagai macam gejala alam, baik di dalam Bumi maupun di udara sehingga penelitian tidak dapat dilakukan secara terpisah," kata Widiyantoro.

Kepala Bagian Riset Geodesi Institut Teknologi Bandung Hasanudin Z Abidin, yang juga berorasi dalam kesempatan itu, menyatakan bahwa prediksi akan lebih tepat jika struktur pergerakan Bumi dipantau dengan alat global positioning system (GPS) atau alat navigasi satelit. "Jika hanya mengandalkan alat seismograf untuk mengetahui getaran Bumi saja tidak cukup dan gejala gempa tidak kelihatan. GPS mampu memantau struktur tanah secara menyeluruh dan cepat dengan bantuan satelit," katanya.

Selain itu, dengan menggunakan GPS, perubahan medan listrik di udara yang merupakan salah satu gejala gempa bumi dapat dideteksi.

Terhambat biaya

Widiyantoro yang juga Ketua Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Geofisika ITB mengatakan, upaya penelitian yang ia lakukan selama ini belum didukung dana yang memadai. Akibatnya, stasiun pengamat gempa di Indonesia belum memadai untuk mengirim data yang lengkap dan akurat yang selanjutnya diolah dengan metode geotomografi.

Ia menjelaskan, setelah tsunami Aceh pada 2004, baru ada sekitar 200 stasiun pengamat di beberapa daerah rawan gempa di Sumatera dan Jawa. Rencananya, akan ada penambahan sebanyak 100 stasiun mulai 2008 ini.

"Jepang yang wilayahnya lebih kecil dibanding Indonesia saja telah memiliki lebih 1.000 stasiun pengamat," kata Widiyantoro. Ia memaklumi kekurangan sarana ini karena untuk pembangunan satu stasiun pengamat dibutuhkan Rp 1 miliar-Rp 2 miliar.

Selama ini, dalam penelitiannya, Widiyantoro bekerja sama dengan para ahli dari luar negeri. Sebagian besar stasiun pengamat yang ada pun merupakan bantuan dari luar negeri

0 komentar:


Posting Komentar

 

counter

Recent Comment

Recent post